MAKNA
PEMBELAJARAN DAN TEORI-TEORI YANG MELANDASINYA DALAM LINTASAN SEJARAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Paradigma Baru dalam Pembelajaran PAI
Dosen Pengampu :
1.Prof. Dr. Ilzamuddin Ma’mur, MA.
2.Dr. Hunainah, M.M.
Oleh :
Iwan Ridwan
NIM : 1140101047
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN
MAULANA HASANUDIN BANTEN
TAHUN
2012 M/1433 H” SERANG ”
PENDAHULUAN
Pembelajaran
merupakan pusat kegiatan belajar mengajar, yang terdiri dari guru dan siswa,
yang bermuara pada pematangan intelektual, kedewasaan emosional, ketinggian
spiritual, kecakapan hidup, dan keagungan moral. Sebagian besar waktu anak dihabiskan
untuk menjalani rutinitas pembelajaran setiap hari. Bahkan dalam
ekstrakurikuler pun pembelajaran masih terus berlangsung. Relasi guru dan siswa
dalam proses pembelajaran ini sangat menentukan keberhasilan pembelajaran yang
dilakukan.
Bagi
seorang guru mengajar adalah aktivitas utama. Oleh karena itu, ia layak disebut
guru, karena ada transfer ilmu kepada siswa. Kata orang bijak dengan mengajar
ilmu menjadi tegak dan berkembang. Dengan mengajarkan kepada orang lain, ilmu
tidak akan pernah habis, tetapi justru semakin dinamis, progresif, dan
produktif. Di sinilah posisi agungnya seorang guru. Karena itu, sudah menjadi
kewajiban guru untuk mempelajari bermacam-macam metode dan teori-teori
pembelajaran, agar bisa mengajar secara efektif, efisien, dan berkualitas.
Pembelajaran menjadi kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Negeri
ini.[1]
Pembelajaran
merupakan salah satu unsur penentu baik tidaknya lulusan yang dihasilkan oleh
suatu sistem pendidikan. Pembelajaran ibarat jantung dari proses pendidikan.
Pembelajaran yang baik, cenderung menghasilkan lulusan dengan hasil belajar
yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Namun, kenyataannya hasil belajar
pendidikan di Indonesia masih dipandang kurang baik.Sebagian besar siswa belum
mampu menggapai potensi ideal/optimal yang dimilikinya. Oleh karena itu, perlu
ada perubahan proses pembelajaran yang sudah berlangsung selama ini.
Pendidikan
sejatinya adalah salah satu indikator sebuah Negara maju dan modern. Karena
pendidikan merupakan kawah candradimuka, pencetak generasi bangsa dan Negara.
Generasi yang tangguh, handal dan kompetitif lahir dari sebuah proses
pendidikan dan pembelajaran yang baik. Proses pendidikan dan pembelajaran yang
baik bersendi dasar pada teori-teori pembelajaran yang aplikatif dan adabtibel.
Aplikatif bahwa teori pembelajaran harus dapat dipraktekan di kelas.Ia bukan
sekedar wacana, diskursus dan slogan yang tidak mempunyai pengaruh terhadap
proses pembelajaran. Adabtibel bahwa teori pembelajaran itu harus dapat dipergunakan
disegala suasana, tempat, kurun dan tingkatan-tingkatan proses pembelajaran.
Proses
pembelajaran bukanlah aktifitas statis, tetapi dinamis. Kedinamisan itu dikemas
dalam teori-teori dan pendekatan-pendekatan pembelajaran.Adanya teori dan
pendekatan pembelajaran itu memungkinkan seseorang dapat mengadaptasi dan
mengaplikasikan segala bentuk ilmu pengetahuan kepada siswa. Dengan ragam teori
dan pendekatan yang dipakai dalam proses pembelajaran, maka akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar terhadap tingkat keberhasilan proses pembelajaran.[2]
Dari
pendahuluan di atas dapat diambil sebuah rumusan masalah adalah 1).Apamakna pembelajaran.
2) Bagaimana teori-teori pembelajaran itu dalam pendidikan.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang makna pembelajaran disertai dengan
teori-teori yang melandasinya dalam lintasan sejarah. Maka penulis berharap
kehadiran makalah sederhana ini bisa memberikan kontribusi pengetahuan yang
signifikan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses pengorganisasian kegiatan belajar.
Dengan kata lain pembelajaran merupakan upaya penciptaan kondisi yang kondusif,
yaitu membangkitkan kegiatan belajar efektif dikalangan para siswa. Perlu
disadari bahwa keberhasilan proses pembelajaran tidak ditentukan oleh metode
atau prosedur yang digunakan, bukan kolot atau moderennya pembelajaran, bukan
pula konvensional atau progresifnya pengajaran. Semuanya penting tetapi tidak
menjadi pertimbangan akhir, karena hanya berkaitan dengan “alat” bukan
“tujuan”.Syarat utama pembelajaran adalah “hasil”, dan hasil hanyalah sebuah
akibat dari “prosesnya”. Proses inilah yang menentukan hasil[3].
Sementara itu makna lain dari pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar
yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi[4].
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat
terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap
dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain bahwa pengertian
pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.
B.
Prinsip Pembelajaran
Pembelajaran merupakan hal-hal yang mendasari dan atau menjadi
sebab terjadinya belajar. Dengan perkataan lain apabila tidak nampak kegiatan
pembelajaran berarti proses belajar itu tidak akan terjadi secara efektif dan
berhasil sesuai dengan harapan.
Gordon Dryden dan Jeanette Vos menyebutkan prinsip dasar dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut :
1.
Efektifitas
belajar terkait erat dengan suasana belajar yang menyenangkan. Dia mengemukakan
empat kunci keberhasilan pembelajaran, yaitu : (a) Ciptakan kondisi terbaik
untuk belajar. (b) bentuk presentasi yang melibatkan seluruh indra. (c)
Berfikir kreaktif dan kritis untuk membantu proses internalisasi dan (d) Beri
rangsangan dalam mengakses materi pelajaran.
2.
Pembelajaran Mandiri
adalah kunci utama.
3.
Melayani setiap
gaya belajar dan mendayagunakan secara optimal fungsi kerja otak.
4.
Belajar dengan
empat tingkat, yakni :(a) Pengembangan citra diri dan kepribadian. (b)
Pelatihan dan keterampilan hidup. (c) Belajar tentang cara belajar dan cara
berfikir. (d) Kemampuan akademis, fisik dan aristik yang spesifik.
5.
Pentingnya
pendidikan prasekolah dan orang tua sebagai guru pertama[5].
Di samping penjelasan di atas, dalam pembelajaran yang hendak
memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran perlu memahami
prinsip-prinsip pembelajaran yang mengacu pada teori belajar dan pembelajaran.
Diantaranya adalah tentang kesiapan belajar, motivasi, persepsi, retensi, dan
transfer dalam pembelajaran[6]
Beberapa prinsip pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guna menunjang hasil belajar yang efektif dan
efisien adalah :
1.
Kesempatan
Belajar. Kegiatan pembelajaran perlu menjamin pengalaman siswa untuk secara
langsung mengamati dan mengalami proses, produk, keterampilan dan nilai yang
diharapkan.
2.
Pengetahuan
Awal Siswa. Kegiatan pembelajaran perlu menyediakan pengalaman belajar yang
dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa serta disesuaikan dengan keterampilan
dan nilai yang dimiliki siswa sambil memperluas dan menunjukan keterbukaan pada
cara pandang dan cara tindak sehari-hari.
3.
Refleksi.
Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar bermakna yang mampu
mendorong tindakan (aksi) dan renungan (refleksi) pada setiap siswa.
4.
Motivasi.
Kegiatan mengajar harus mampu menyediakan pengalaman belajar yang memberi
motivasi dan kejelasan tujuan.
5.
Keragaman
Individu. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang mendorong
siswa belajar secara mandiri maupun melalui kerjasama.
6.
Kemandirian dan
Kerjasama. Kegiatan belajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang mendorong
siswa untuk belajar mandiri maupun melakukan kerjasama.
7.
Suasana yang
Mendukung. Sekolah dan kelas perlu diaatur lebih aman dan lebih kondusif untuk
menciptakan situasi supaya siswa belajar efektif.
8.
Belajar untuk
Kebersamaan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar yang mendorong
siswa untuk memiliki simpati, empati dan toleransi pada orang lain.
9.
Siswa sebagai
Pembangun Gagasan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar yang
mengakomodasikan pandangan bahwa pembangunan gagasan adalah siswa, sedangkan
guru hanya sebagai penyedia kondisi supaya peristiwa belajar berlangsung.
10.
Rasa Ingin Tahu,
Kreaktivitas dan Ketuhanan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar
yang memupuk rasa ingin tahu, mendorong kreaktivitas dan selalu mengagungkan
kebesaran Tuhan yang maha Esa.
11.
Menyenangkan.
Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang menyenagkan siswa.
12.
Interaksi dan
Komunikasi. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang
menyakinkan siswa terlibat secara aktif secara mental, fisik, sosial.
13.
Belajar Cara
Belajar. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang memuat
keterampilan belajar, sehingga siswa terampil belajar bagaimana belajar (learn
how to learn)[7]
C.
Komponen
Pembelajaran
Secara fungsional kegiatan pembelajaran dalam suatu sekolah sebagai
lembaga pendidikan merupakan tugas utama seorang guru. Oleh karena itu untuk
merealisasikan tugas dengan baik selayaknya guru memperhatikan
komponen-komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Di bawah ini akan dikemukakan tentang empat komponen utama kegiatan
pembelajaran yang mempengaruhi hasil belajar.
1.
Hasil Belajar (Expected
Output)
Hasil belajar
menunjukan kepada tingkat kualifikasi ukuran baku (Standaring Norms)
menjadi sasaran sekaligus tujuan yang mesti dicapai melalui berbagai kegiatan
pengalaman siswa secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Hasil belajar yang
efektif tidak hanya menekankan pada salah satu dari ketiga orientasi hasil
belajar, melainkan keseimbangan dalam pengembangannya secara proporsional.
2.
Karakteristik
Siswa (Raw Input)
Karakteristik
siswa merupakan dasar dan landasan dalam pengembangan kegiatan pembelajaran.
Proses pembelajaran akan efektif apabila mengacu kepada karakteristik siswa,
terutama berkenaan dengan potensi dasar yang dimilikinya. Di samping itu
berkenaan dengan aspek-aspek individual dan kepribadian, baik bersifat
fisiologis maupun psikologis.
3.
Sarana
Prasarana (Instrumental Input)
Instrumental
Input merupakan kelengkapan dari fasilitas yang diperlukan dalam memberikan
sejumlah pengalaman belajar kepada para siswa, baik hal-hal bersifat teoritis,
teknis maupun hal lainnya yang bersifat praktis.
4.
Lingkungan (Enverionmental
Input)
Lingkukan
menunjukan pada situasi dan keadaan fisik, lingkungan sosial dan budaya yang
mengitari tempat berlangsungnya proses pembelajaran, baik aspek lingkungan yang
bersifat aktif maupun pasif. Dalam pengembangan pengalaman belajar, lingkungan
sekaligus merupakan sumber bagi kegiatan belajar siswa[8].
Keempat komponen pembelajaran ini, satu sama lain saling
mempengaruhi terhadap efektifitas kegiatan pembelajaran. Demikian pula terhadap
perolehan hasil belajar siswa.Oleh karena itu, guru sebagai perancang kegiatan
belajar siswa dituntut mampu memberdayakan secara efektif.
D.
Karakteristik
Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan proses kegiatan interaksi antara dua
unsur manusiawi, yakni : siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai
pihak yang mengajar. Proses tersebut memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan
dengan proses lainnya, yakni sebagai berikut :
1.
Proses
pembelajaran memiliki tujuan, yakni membantu anak dalam suatu perkembangan
tertentu.
2.
Adanya suatu
prosedur yang direncanakan. Dirancang untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
3.
Adanya kegiatan
penggarapan materi tertentu secara khusus, sehingga dapat mencapai tujuan.
4.
Adanya
aktifitas siswa sebagai syarat mutlak bagi berlangsungnya proses pembelajaran.
5.
Guru berperan
sebagai pembimbing yang berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar
terjadi proses interaksi yang kondusif.
6.
Membutuhkan
adanya komitmen terhadap kedisiplinan sebagai pola tingkah laku yang diatur
menurut ketentuan yang dita’ati semua pihak secara sadar.
7.
Adanya batas
waktu untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan.
Dalam mengelola proses pembelajaran seorang pengajar harus mampu
menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya proses belajar pada setiap
peserta didik. Setiap peserta didik yang ada dalam komunitas belajar memiliki
karakter yang berbeda, baik dari segi kemampuan dalam menyerap informasi,
maupun dari kemampuan lainnya. Semua itu tercermin dari gaya belajar yang
dimiliki setiap peserta belajar.
Tugas pengajar adalah memahami gaya belajar yang dimiliki setiap
peserta didik sehingga dia dapat mengembangkan rancangan pembelajaran dan
memilih model mengajar yang dapat menjembatani semua gaya belajar. Pekerjaan
ini cukup sulit sejalan dengan pendapat Dahlan yang mengatakan bahwa tidak ada
satu model mengajar yang benar-benar sesuai dengan suatu gaya belajar tertentu[9].
Keberhasilan proses belajar mengajar tidak terlepas dari
komponen-komponen yang terlibat di dalamnya. Komponen-komponen tersebut
diantaranya peserta didik, pengajar, kurikulum, sarana prasarana, dan lingkungan
sosial. Komponen peserta didik dengan karakteristik yang dimilikinya menjadi
barometer dalam mengukur keberhasilan proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Oleh karena hakikat dari proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar
pada pembelajar. Manifestasi dari proses belajar yang dialaminya, maka pada
diri pembelajar tersebut terjadi perubahan pada tingkah laku.
E.
Kegiatan Pembelajaran Berbasis Potensi Qodrati[10]
Pembelajaran selayaknya mampu menciptakan kondisi yang dapat
melibatkan fungsi dari potensi kodrati peserta didik (akal, naluri dan hati)
secara terpadu dan proporsional.
Terpadu dalam arti ketiga potensi tersebut tidak terpisah dan atau
bertolak belakang satu dengan yang lainnya, melainkan bersifat selaras dan
serasi dalam merespon/menyikapi stimulus yang muncul terlebih dalam menguasai
suatu kompetensi tertentu sebagai hasil pembelajaran.Proporsional berarti
menempatkan ketiga potensi kodrati tersebut sesuai fungsi dan kapasitasnya.Pembelajaran
berbasis potensi kodrati menuntut seorang guru memahami ketiga potensi tersebut
secara lurus dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan. Apabila tidak,
tentunya proses pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif atau
bermakna. Tidak tertutup kemungkinan timbul kerusakan pada sistem belajar siswa
dan atau menyesatkan peserta didik dari nilai-nilai kebenaran yang mesti
dijunjung tinggi.
Berikut ini akan dipaparkan sekilas fungsi-fungsi potensi kodrati,
hubungannya dengan essensi kegiatan pembelajaran.
1.
Akal (Rasio)
Intelegensi (IQ).
Akal
merupakan suatu potensi dalam rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti
secara teoritis realita yang mengelilinginya dan untuk secara praktis merubah
dan mempengaruhinya. Menurut Saefudin. E. Anshori menyebutkan bahwa struktur
rasio ini memberikan kesanggupan manusia untuk (1) membentuk
pengertian-pengertian. (2) merumuskan pendapat-pendapat dan (3) menarik
kesimpulan-kesimpulan.
Dalam
pembelajaran potensi ini, sangatlah erat dengan fungsi “kognitif” (pengetahuan)
yang dalam teori kognitif Bloom meliputi ranah-ranah : Mengingat (C.1),
Memahami (C.2), Menggunakan (C.3), Analisis (C.4), Sintesis (C.5) dan Evaluasi
(C.6).
Oleh
karena itu, proses pembelajaran hendaknya mampu melingkupi keenam ranah
tersebut, tidak terbatas pada salah satu ranah yang ada, sesuai dengan tingkat
kematangan peserta didik, yang sedang melakukan kegiatan belajar.
2.
Naluri
(Perasaan/Emosional) EQ
Seperti
halnya akal (rasio), naluri (perasaan) merupakan potensi kodrati rohani manusia
yang bersanggupan untuk kepekaan rasa dan perasaan seorang peserta didik dalam
menyikapi terhadap stimulus yang muncul dan atau kompetensi yang mesti dimiliki
dari kegiatan belajar yang telah diikutinya.
Potensi
kodrati ini sangatlah mendasari aktifitas dan fungsi potensi kodrati yang
lainnya. Dalam kegiatan pembelajaran potensi kodrati ini merupakan fungsi
afektual (emosional) yang di dalamnya terdiri atas kemauan untuk : Merespon,
menerima, menilai, mengorganisasikan, maupun menginternalisasikan.
3.
Hati
(keyakinan/spiritual) SQ
Hati
merupakan potensi kodrati manusia yang terdalam dan yang menentukan suatu
perbuatan tertentu.Hati mampu mengungkap makna dibalik realita dan bahkan mampu
melebihi potensi rasio atau akal.Blaise Pascal seorang filsuf dan ahli ilmu
pasti kebangsaan Perancis dia menyatakan bahwa Hati itu mempunyai alasan-alasan
yang mungkin tidak dimengerti akal.
Hati
merupakan tempat menyimpan berbagai informasi, bahkan hati yang memutuskan
terhadap suatu tindakan serta hati itu pula yang merupakan pusat keyakinan
seseorang, sebagai landasan berbuat dan bertindak.Dalam hati tersimpan berbagai
sistem nilai yang melandasi perbuatan termasuk penguasaan dan penjiwaan
seseorang terhadap suatu kompetensi tertentu.
Dalam
konteks pembelajaran potensi kodrati ini, merupakan fungsi Psikomotorik (gerak
kejiwaan), yang secara bertahap meliputi kemampuan :Perception (meniru),
Guided Respons (mencontoh), Adaptation (Meneladani), Mechanisme
(membiasakan) maupun kemampuan Origination (perwujudan diri)[11]
Dalam
kegiatan pembelajaran, untuk mencapai hasil yang optimal khususnya dalam
menguasai suatu kompetensi tertentu, hanyalah mungkin apabila ketiga potensial
kodrati (akal, hati dan naluri) tersentuh secara utuh dan terpadu.
F.
Teori-teori Pokok Belajar
1.
Behaviorisme
Behaviorisme sudah menjadi trend
dalam dunia pendidikan.Tetapi kebanyakan para guru menganggapnya sebagai sebuah
pengetahuan saja, tanpa mempersoalkan implikasi teori pembelajaran yang
dianutnya dengan sengaja maupun tidak disengaja.Kemungkinan besar pendekatan
pembelajaran yang dipakai sebatas selayang pandang. Kenyataannya teori ini
telah mendarah daging dalam dunia proses belajar mengajar di Indonesia[12]
Behaviorisme sebagai pendekatan
pembelajaran mempunyai beberapa akar ideologis.Yang pertama adalah filosofi
realisme.Dari sudut pandang ini behaviorisme menitik beratkan pada hukum alam,
karena menurut persefektif behaviorisme manusia merupakan bagian dari alam dan
manusia hidup sesuai dengan hukum alam.Tugas dari penganut behaviorisme adalah
untuk meneliti makhluk hidup termasuk manusia dalam usahanya untuk menemukan
hukum perilaku (behaviour). Setelah hukum tersebut ditemukan, maka hukum itu
akan menjadi teknologi perilaku manusia.
Akar ideologis yang kedua adalah
positivisme, yang salah satu tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857).Comte
membagi sejarah pemikiran manusia menjadi tiga tingkatan.Masa paling primitive
adalah masa teologi.Dimana masa segala sesuatu dikaitkan dengan roh dan
Tuhan.Periode kedua adalah metafisika, dimana setiap kejadian selalu dikaitkan
dengan rasa, sebab dan prinsip-prinsip diri manusia.Periode ketiga yang
tertinggi adalah positif, dimana pada periode ini manusia hanya melihat
fakta-fakta yang bisa diamati dan diukur[13].
Menurut teori belajar behavioristik
atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut
psikologi behavioristk adalah suatu control instrumental yang berasal dari
lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor
kondisional yang diberikan lingkungan. Beberapa ilmuan yang termasuk pendiri
sekaligus penganut behavioristic antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull,
Guthrie, dan Skinner[14].
Behaviorisme menitik beratkan pada
pendidikan sebagai upaya untuk membentuk perilaku.Oleh karena itu stimulus yang
bisa membentuk perilaku baik dalam diri manusia sangat diperlukan.Lingkungan
pendidikan juga sangat penting dalam pendidikan.Oleh karena itu dibutuhkan
lingkungan yang mendukung, begitu juga diperlukan adanya reinforcement.Pendidik
hendaknya memberikan reinforcementyang tepat pada anak didik. Positif
reinforcement hendaknya sering diberikan kepada siswa[15]
2.
Connectionism
(Koneksionisme)
Teori koneksionisme (connectionism)
adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike
(1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an.
Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk
mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar
ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan
peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan
pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa
sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan
sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang
disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang
merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang
ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan
berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di
depannya.Akhirnya, entah bagaimana secara kebetulan kucing itu berhasil menekan
pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box
ini kemudian terkenal dengan namainstrumental conditioning. Artinya,
tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas,
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan
respons.Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory”
dan “S-R Psychology of Learning”.Selain itu, teori ini juga terkenal
dengan sebutan “Trial and Error Learning”.Istilah ini menunjuk pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan
(Hilgard & Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam
eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong
timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan
kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha
keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box
yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala
belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa
motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya
makanan di muka pintu puzzle box.Makanan ini merupakan efek positif atau
memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum
belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons
menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang
dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam
teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F Skinner[16]
3.
Classical Conditioning (Pembiasaan
Klasik)
Teori pembiasaan klasik (classical
conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan
oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil
menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov
menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned
stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response
(CR), dan unconditioned response (UCR).CS adalah rangsangan yang mampu
mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu
sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang
tidak dipelajari, dan respon yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula
diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang
dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum
dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air
liur setiap kali mulutnya berisi makanan.Ketika bel dibunyikan, secara alami
pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan
air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen
berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian
makanan berupa serbuk daging (UCS).Setelah latihan yang berulang-ulang ini
selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan
(UCS).Apakah yang terjadi?Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur
juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan
CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen tersebut,
semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya
hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen
E.L. Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang
memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila
stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS),
stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau
perbuahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
4.
Operant Conditioning (Pembiasaan
Perilaku Proses)
Teori pembiasaan perilaku respons (operant
conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan
masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa
kini.Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang
penganut behaviorisme yang dianggap kontroversial.Karya tulisnya yang dianggap
baru/ terakhir berjudul About Behaviorismditerbitkan pada tahun
1974.Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu
terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu
sendiri (Bruno, 1987).
Operant adalah
sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan
yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning
(yang responsnya didatangkan oleh
stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.Reinforcer
itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Teori Skinner mirip sekali dengan trial
and error learning yang ditemukan oleh Thorndike.Dalam hal ini, fenoma
tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan,
sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.Dengan
demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant
conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of
effect.
Selanjutnya, proses belajar dalam
teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant
yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant
extinction. Menurut law of operant conditioning, jika timbulnya
tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction,
jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning
itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut
akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya
sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori
pembiasaan yang klasik.
5.
Contiguous Conditioning (Pembiasaan
Asosiasi Dekat)
Teori belajar
pembiasaan asosiasi dekat (contiguous conditioning) adalah sebuah teori
belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan
hubungan antara stimulus dengan respons yang relevan.Contiguous conditioning
sering disebut sebagai teori belajar istimewa dalam arti paling sederhana dan
efisien, karena di dalamnya hanya terdapat satu prinsip, yaitu kontiguitas (contiguity)
yang berarti kedekatan asosiasi antar stimulus-respons.
Menurut teori
ini, apa yang sesungguhnya dipelajari orang, misalnya seorang siswa, adalah
reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus.
Artinya, setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk
selamanya atau sama sekali tak terjadi (Reber, 1989: 153). Dalam pandangan
penemu teori tersebut yakni Edwin R. Guthrie (1886-1959), peningkatan
berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seorang siswa
bukanlah hasil dari pelbagai respons kompleks terhadap stimulus-stimulus
sebagaimana yang diyakini para behavioris lainnya, melainkan karena dekatnya
asosiasi antara stimulus dengan respons yang diperlukan.
6.
Cognitive Theory (Teori
Kognitif)
Teori
psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah
memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar.
Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi
kognitif, ilmu-ilmu komputer, linguistik, intelegensi buatan, matematika,
epistimologi dan neuropsychology (psikologi syaraf).
Pendekatan
psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental
manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak
tak dapat tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental,
yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
Meskipun
pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik,
tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behavioristik itu tidak lengkap
sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang
berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil
keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah
rasa.
Dalam
perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar
siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan
tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku
mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
7.
Social Learning Theory (Teori
Belajar Sosial)
Teori belajar
sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori observational learning
(Pressly & McCormick, 1995: 216) adalah sebuah teori belajar yang relative
masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Tokoh utama teori
ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak
ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti
rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah
laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar
belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow
(1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa
belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau
sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini
juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap
perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orang tuanya.
Pendekatan
teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa
ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation
(peniruan).
Conditioning, menurut
prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku
sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan reward (ganjaran/memberi
hadiah/mengganjar) dan punishment (hukuman/memberi hukuman). Dasar
pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara
perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan
perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa
berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu ia perbuat.
Imitation, prosedur
lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral dengan
prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses
imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogianya memainkan
peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh
berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Kualitas
kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap
model, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan
hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari
model. Selain itu, tingkat kualitas imitasi juga bergantung pada persepsi siswa
terhadap “siapa” yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa
seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral
siswa tersebut
PENUTUP
Pembelajaran sejatinya merupakan
seperangkat aktifitas yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik
melalui proses belajar mengajar. Di dalamnya guru berperan sangat signifikan
dalam membina, membimbing, mendidik, mengasuh dan merubah prilaku peserta didik
menjadi manusia yang cakap, mandiri, dan cerdas.
Pembelajaran sebagai proses
pengorganisasian kegiatan belajar. Dengan kata lain pembelajaran merupakan
upaya penciptaan kondisi yang kondusif, yaitu membangkitkan kegiatan belajar
efektif dikalangan para siswa. Guru hendaknya menggunakan metode dan teori yang
baik sehingga diharapkan proses pembelajaran akan berlangsung baik dan
menyenangkan.
Asumsi teori adalah terjadinya
perubahan terus menerus dalam masyarakat, mengharuskan setiap lulusan sekolah
memiliki kemampuan dalam bertindak, belajar dan mengatur masa depan sendiri
secara mandiri dengan memadukan unsur-unsur terbaik dari sistem-sistem yang
terbukti berhasil.
Dinamika lahir dan tumbuhnya
berbagai pandangan, paham dan teori tentang proses pembelajaran pada hakikatnya
merupakan penyempurnaan essensi proses pembelajaran, seiring dengan tuntutan
perkembangan masyarakat tempat berlangsungnya proses pembelajaran itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani,
Jamal Ma’mur, 7 Tips Aplikasi Pakem; Menciptakan Metode Pembelajaran Efektif
dan Berkualitas, (Yogyakarta : PT. Diva Press, 2011).
Fauzi
Anis, Lugowi Ahmad, Pembelajaran Mikro; Suatu Konsep dan Aplikasi,
(Jakarta : PT. Diadit Media, 2009).
Sukmara
Dian, Implementasi Life Skill dalam KTSP; Melalui Mode Manajemen Potensial
Qodrati, (Bandung : PT. Mughni Sejahtera, 2007).
Djamarah,
Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002).
Suryosubroto,
Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2009).
Majid,
Abdul, Perencanaan Pembelajarn; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006).
Harjanto,
Perencanaan Pengajaran, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2010).
[1]
Jamal Ma’mur Asmani, 7 Tips Aplikasi Pakem; Menciptakan Metode Pembelajaran
yang Efektif dan Berkualitas, (Yogyakarta : PT. DIVA Press, 2011) hal. 17
[2]
Ibid, hal, 18
[3]
Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen
Potensial Qodrati, (Bandung : PT. Mughni Sejahtera, 2007), hal. 63
[4]
Anis Fauzi, Rifyal Ahmad Lugowi, Pembelajaran Mikro; Suatu Konsep dan Aplikasi,
(Jakarta : PT. Diadit Media, 2009), hal. 8
[5]
Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen
Potensial Qodrati, Op-Cit, hal, 65
[6]
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung : PT. Remaja RosdaKarya, 2004), hal, 137
[7]
Ibid, hal 66-67
[8] B,
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah; Wawasan Baru, Beberapa Metode
Pendukung, dan Beberapa Komponen Layanan Khusus, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2009), hal.
[9]
Suparman A, dan Purwanto, Analisis Pembelajaran, (Jakarta : PT. Depdikbud,
1997), hal
[10]Potensi
Qodrati di sini dimaksudkan untuk mengembangkan peserta didik melalui pengembangan
akal, naluri dan hati secara terpadu dan proporsional.
[11]
Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen
Potensial Qodrati, hal, 73-74
[12]
Abdul Azis, Teori-teori Belajar, (Jember : PT. Madania Center Press, 2008),
hal, 1
[13]Ibid,
hal. 2
[14]
Eveline Siregar, dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor : PT.
Ghalia Indonesia, 2010), hal. 25
[15]Abdul
Azis, Teori-teori Belajar, hal. 4
[16]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hal. 92-93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar