Rabu, 09 Januari 2013

Makalah Paradigma Baru Pendidikan Islam


MAKNA PEMBELAJARAN DAN TEORI-TEORI YANG MELANDASINYA DALAM LINTASAN SEJARAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Paradigma Baru dalam Pembelajaran PAI

Dosen Pengampu  :
1.Prof. Dr. Ilzamuddin Ma’mur, MA.
2.Dr. Hunainah, M.M.

images

Oleh :

Iwan Ridwan
NIM : 1140101047

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
TAHUN 2012 M/1433 H” SERANG ”


PENDAHULUAN

Pembelajaran merupakan pusat kegiatan belajar mengajar, yang terdiri dari guru dan siswa, yang bermuara pada pematangan intelektual, kedewasaan emosional, ketinggian spiritual, kecakapan hidup, dan keagungan moral. Sebagian besar waktu anak dihabiskan untuk menjalani rutinitas pembelajaran setiap hari. Bahkan dalam ekstrakurikuler pun pembelajaran masih terus berlangsung. Relasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran ini sangat menentukan keberhasilan pembelajaran yang dilakukan.
Bagi seorang guru mengajar adalah aktivitas utama. Oleh karena itu, ia layak disebut guru, karena ada transfer ilmu kepada siswa. Kata orang bijak dengan mengajar ilmu menjadi tegak dan berkembang. Dengan mengajarkan kepada orang lain, ilmu tidak akan pernah habis, tetapi justru semakin dinamis, progresif, dan produktif. Di sinilah posisi agungnya seorang guru. Karena itu, sudah menjadi kewajiban guru untuk mempelajari bermacam-macam metode dan teori-teori pembelajaran, agar bisa mengajar secara efektif, efisien, dan berkualitas. Pembelajaran menjadi kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Negeri ini.[1]
Pembelajaran merupakan salah satu unsur penentu baik tidaknya lulusan yang dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan. Pembelajaran ibarat jantung dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik, cenderung menghasilkan lulusan dengan hasil belajar yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Namun, kenyataannya hasil belajar pendidikan di Indonesia masih dipandang kurang baik.Sebagian besar siswa belum mampu menggapai potensi ideal/optimal yang dimilikinya. Oleh karena itu, perlu ada perubahan proses pembelajaran yang sudah berlangsung selama ini.
Pendidikan sejatinya adalah salah satu indikator sebuah Negara maju dan modern. Karena pendidikan merupakan kawah candradimuka, pencetak generasi bangsa dan Negara. Generasi yang tangguh, handal dan kompetitif lahir dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran yang baik. Proses pendidikan dan pembelajaran yang baik bersendi dasar pada teori-teori pembelajaran yang aplikatif dan adabtibel. Aplikatif bahwa teori pembelajaran harus dapat dipraktekan di kelas.Ia bukan sekedar wacana, diskursus dan slogan yang tidak mempunyai pengaruh terhadap proses pembelajaran. Adabtibel bahwa teori pembelajaran itu harus dapat dipergunakan disegala suasana, tempat, kurun dan tingkatan-tingkatan proses pembelajaran.
Proses pembelajaran bukanlah aktifitas statis, tetapi dinamis. Kedinamisan itu dikemas dalam teori-teori dan pendekatan-pendekatan pembelajaran.Adanya teori dan pendekatan pembelajaran itu memungkinkan seseorang dapat mengadaptasi dan mengaplikasikan segala bentuk ilmu pengetahuan kepada siswa. Dengan ragam teori dan pendekatan yang dipakai dalam proses pembelajaran, maka akan memberikan kemungkinan yang lebih besar terhadap tingkat keberhasilan proses pembelajaran.[2]
Dari pendahuluan di atas dapat diambil sebuah rumusan masalah adalah 1).Apamakna pembelajaran. 2) Bagaimana teori-teori pembelajaran itu dalam pendidikan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang makna pembelajaran disertai dengan teori-teori yang melandasinya dalam lintasan sejarah. Maka penulis berharap kehadiran makalah sederhana ini bisa memberikan kontribusi pengetahuan yang signifikan.

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses pengorganisasian kegiatan belajar. Dengan kata lain pembelajaran merupakan upaya penciptaan kondisi yang kondusif, yaitu membangkitkan kegiatan belajar efektif dikalangan para siswa. Perlu disadari bahwa keberhasilan proses pembelajaran tidak ditentukan oleh metode atau prosedur yang digunakan, bukan kolot atau moderennya pembelajaran, bukan pula konvensional atau progresifnya pengajaran. Semuanya penting tetapi tidak menjadi pertimbangan akhir, karena hanya berkaitan dengan “alat” bukan “tujuan”.Syarat utama pembelajaran adalah “hasil”, dan hasil hanyalah sebuah akibat dari “prosesnya”. Proses inilah yang menentukan hasil[3].
Sementara itu makna lain dari pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi[4].
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan  kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain bahwa pengertian pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

B.  Prinsip Pembelajaran
Pembelajaran merupakan hal-hal yang mendasari dan atau menjadi sebab terjadinya belajar. Dengan perkataan lain apabila tidak nampak kegiatan pembelajaran berarti proses belajar itu tidak akan terjadi secara efektif dan berhasil sesuai dengan harapan.
Gordon Dryden dan Jeanette Vos menyebutkan prinsip dasar dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
1.      Efektifitas belajar terkait erat dengan suasana belajar yang menyenangkan. Dia mengemukakan empat kunci keberhasilan pembelajaran, yaitu : (a) Ciptakan kondisi terbaik untuk belajar. (b) bentuk presentasi yang melibatkan seluruh indra. (c) Berfikir kreaktif dan kritis untuk membantu proses internalisasi dan (d) Beri rangsangan dalam mengakses materi pelajaran.
2.      Pembelajaran Mandiri adalah kunci utama.
3.      Melayani setiap gaya belajar dan mendayagunakan secara optimal fungsi kerja otak.
4.      Belajar dengan empat tingkat, yakni :(a) Pengembangan citra diri dan kepribadian. (b) Pelatihan dan keterampilan hidup. (c) Belajar tentang cara belajar dan cara berfikir. (d) Kemampuan akademis, fisik dan aristik yang spesifik.
5.      Pentingnya pendidikan prasekolah dan orang tua sebagai guru pertama[5].
Di samping penjelasan di atas, dalam pembelajaran yang hendak memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran perlu memahami prinsip-prinsip pembelajaran yang mengacu pada teori belajar dan pembelajaran. Diantaranya adalah tentang kesiapan belajar, motivasi, persepsi, retensi, dan transfer dalam pembelajaran[6]

Beberapa prinsip pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guna menunjang hasil belajar yang efektif dan efisien adalah :
1.      Kesempatan Belajar. Kegiatan pembelajaran perlu menjamin pengalaman siswa untuk secara langsung mengamati dan mengalami proses, produk, keterampilan dan nilai yang diharapkan.
2.      Pengetahuan Awal Siswa. Kegiatan pembelajaran perlu menyediakan pengalaman belajar yang dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa serta disesuaikan dengan keterampilan dan nilai yang dimiliki siswa sambil memperluas dan menunjukan keterbukaan pada cara pandang dan cara tindak sehari-hari.
3.      Refleksi. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar bermakna yang mampu mendorong tindakan (aksi) dan renungan (refleksi) pada setiap siswa.
4.      Motivasi. Kegiatan mengajar harus mampu menyediakan pengalaman belajar yang memberi motivasi dan kejelasan tujuan.
5.      Keragaman Individu. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang mendorong siswa belajar secara mandiri maupun melalui kerjasama.
6.      Kemandirian dan Kerjasama. Kegiatan belajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk belajar mandiri maupun melakukan kerjasama.
7.      Suasana yang Mendukung. Sekolah dan kelas perlu diaatur lebih aman dan lebih kondusif untuk menciptakan situasi supaya siswa belajar efektif.
8.      Belajar untuk Kebersamaan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk memiliki simpati, empati dan toleransi pada orang lain.
9.      Siswa sebagai Pembangun Gagasan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar yang mengakomodasikan pandangan bahwa pembangunan gagasan adalah siswa, sedangkan guru hanya sebagai penyedia kondisi supaya peristiwa belajar berlangsung.
10.  Rasa Ingin Tahu, Kreaktivitas dan Ketuhanan. Kegiatan mengajar menyediakan pengalaman belajar yang memupuk rasa ingin tahu, mendorong kreaktivitas dan selalu mengagungkan kebesaran Tuhan yang maha Esa.
11.  Menyenangkan. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang menyenagkan siswa.
12.  Interaksi dan Komunikasi. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang menyakinkan siswa terlibat secara aktif secara mental, fisik, sosial.
13.  Belajar Cara Belajar. Kegiatan mengajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang memuat keterampilan belajar, sehingga siswa terampil belajar bagaimana belajar (learn how to learn)[7]

C.  Komponen Pembelajaran
Secara fungsional kegiatan pembelajaran dalam suatu sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan tugas utama seorang guru. Oleh karena itu untuk merealisasikan tugas dengan baik selayaknya guru memperhatikan komponen-komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Di bawah ini akan dikemukakan tentang empat komponen utama kegiatan pembelajaran yang mempengaruhi hasil belajar.
1.      Hasil Belajar (Expected Output)
Hasil belajar menunjukan kepada tingkat kualifikasi ukuran baku (Standaring Norms) menjadi sasaran sekaligus tujuan yang mesti dicapai melalui berbagai kegiatan pengalaman siswa secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Hasil belajar yang efektif tidak hanya menekankan pada salah satu dari ketiga orientasi hasil belajar, melainkan keseimbangan dalam pengembangannya secara proporsional.
2.    Karakteristik Siswa (Raw Input)
Karakteristik siswa merupakan dasar dan landasan dalam pengembangan kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran akan efektif apabila mengacu kepada karakteristik siswa, terutama berkenaan dengan potensi dasar yang dimilikinya. Di samping itu berkenaan dengan aspek-aspek individual dan kepribadian, baik bersifat fisiologis maupun psikologis.
3.    Sarana Prasarana (Instrumental Input)
Instrumental Input merupakan kelengkapan dari fasilitas yang diperlukan dalam memberikan sejumlah pengalaman belajar kepada para siswa, baik hal-hal bersifat teoritis, teknis maupun hal lainnya yang bersifat praktis.
4.    Lingkungan (Enverionmental Input)
Lingkukan menunjukan pada situasi dan keadaan fisik, lingkungan sosial dan budaya yang mengitari tempat berlangsungnya proses pembelajaran, baik aspek lingkungan yang bersifat aktif maupun pasif. Dalam pengembangan pengalaman belajar, lingkungan sekaligus merupakan sumber bagi kegiatan belajar siswa[8].
Keempat komponen pembelajaran ini, satu sama lain saling mempengaruhi terhadap efektifitas kegiatan pembelajaran. Demikian pula terhadap perolehan hasil belajar siswa.Oleh karena itu, guru sebagai perancang kegiatan belajar siswa dituntut mampu memberdayakan secara efektif.

D.  Karakteristik Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni : siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar. Proses tersebut memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan proses lainnya, yakni sebagai berikut :
1.    Proses pembelajaran memiliki tujuan, yakni membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2.    Adanya suatu prosedur yang direncanakan. Dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.    Adanya kegiatan penggarapan materi tertentu secara khusus, sehingga dapat mencapai tujuan.
4.    Adanya aktifitas siswa sebagai syarat mutlak bagi berlangsungnya proses pembelajaran.
5.    Guru berperan sebagai pembimbing yang berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif.
6.    Membutuhkan adanya komitmen terhadap kedisiplinan sebagai pola tingkah laku yang diatur menurut ketentuan yang dita’ati semua pihak secara sadar.
7.    Adanya batas waktu untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan.
Dalam mengelola proses pembelajaran seorang pengajar harus mampu menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya proses belajar pada setiap peserta didik. Setiap peserta didik yang ada dalam komunitas belajar memiliki karakter yang berbeda, baik dari segi kemampuan dalam menyerap informasi, maupun dari kemampuan lainnya. Semua itu tercermin dari gaya belajar yang dimiliki setiap peserta belajar.
Tugas pengajar adalah memahami gaya belajar yang dimiliki setiap peserta didik sehingga dia dapat mengembangkan rancangan pembelajaran dan memilih model mengajar yang dapat menjembatani semua gaya belajar. Pekerjaan ini cukup sulit sejalan dengan pendapat Dahlan yang mengatakan bahwa tidak ada satu model mengajar yang benar-benar sesuai dengan suatu gaya belajar tertentu[9].
Keberhasilan proses belajar mengajar tidak terlepas dari komponen-komponen yang terlibat di dalamnya. Komponen-komponen tersebut diantaranya peserta didik, pengajar, kurikulum, sarana prasarana, dan lingkungan sosial. Komponen peserta didik dengan karakteristik yang dimilikinya menjadi barometer dalam mengukur keberhasilan proses pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena hakikat dari proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar pada pembelajar. Manifestasi dari proses belajar yang dialaminya, maka pada diri pembelajar tersebut terjadi perubahan pada tingkah laku.

E.    Kegiatan Pembelajaran Berbasis Potensi Qodrati[10]
Pembelajaran selayaknya mampu menciptakan kondisi yang dapat melibatkan fungsi dari potensi kodrati peserta didik (akal, naluri dan hati) secara terpadu dan proporsional.
Terpadu dalam arti ketiga potensi tersebut tidak terpisah dan atau bertolak belakang satu dengan yang lainnya, melainkan bersifat selaras dan serasi dalam merespon/menyikapi stimulus yang muncul terlebih dalam menguasai suatu kompetensi tertentu sebagai hasil pembelajaran.Proporsional berarti menempatkan ketiga potensi kodrati tersebut sesuai fungsi dan kapasitasnya.Pembelajaran berbasis potensi kodrati menuntut seorang guru memahami ketiga potensi tersebut secara lurus dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan. Apabila tidak, tentunya proses pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif atau bermakna. Tidak tertutup kemungkinan timbul kerusakan pada sistem belajar siswa dan atau menyesatkan peserta didik dari nilai-nilai kebenaran yang mesti dijunjung tinggi.
Berikut ini akan dipaparkan sekilas fungsi-fungsi potensi kodrati, hubungannya dengan essensi kegiatan pembelajaran.
1.    Akal (Rasio) Intelegensi (IQ).
Akal merupakan suatu potensi dalam rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti secara teoritis realita yang mengelilinginya dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. Menurut Saefudin. E. Anshori menyebutkan bahwa struktur rasio ini memberikan kesanggupan manusia untuk (1) membentuk pengertian-pengertian. (2) merumuskan pendapat-pendapat dan (3) menarik kesimpulan-kesimpulan.
Dalam pembelajaran potensi ini, sangatlah erat dengan fungsi “kognitif” (pengetahuan) yang dalam teori kognitif Bloom meliputi ranah-ranah : Mengingat (C.1), Memahami (C.2), Menggunakan (C.3), Analisis (C.4), Sintesis (C.5) dan Evaluasi (C.6).
Oleh karena itu, proses pembelajaran hendaknya mampu melingkupi keenam ranah tersebut, tidak terbatas pada salah satu ranah yang ada, sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik, yang sedang melakukan kegiatan belajar.
2.    Naluri (Perasaan/Emosional) EQ
Seperti halnya akal (rasio), naluri (perasaan) merupakan potensi kodrati rohani manusia yang bersanggupan untuk kepekaan rasa dan perasaan seorang peserta didik dalam menyikapi terhadap stimulus yang muncul dan atau kompetensi yang mesti dimiliki dari kegiatan belajar yang telah diikutinya.
Potensi kodrati ini sangatlah mendasari aktifitas dan fungsi potensi kodrati yang lainnya. Dalam kegiatan pembelajaran potensi kodrati ini merupakan fungsi afektual (emosional) yang di dalamnya terdiri atas kemauan untuk : Merespon, menerima, menilai, mengorganisasikan, maupun menginternalisasikan.
3.    Hati (keyakinan/spiritual) SQ
Hati merupakan potensi kodrati manusia yang terdalam dan yang menentukan suatu perbuatan tertentu.Hati mampu mengungkap makna dibalik realita dan bahkan mampu melebihi potensi rasio atau akal.Blaise Pascal seorang filsuf dan ahli ilmu pasti kebangsaan Perancis dia menyatakan bahwa Hati itu mempunyai alasan-alasan yang mungkin tidak dimengerti akal.
Hati merupakan tempat menyimpan berbagai informasi, bahkan hati yang memutuskan terhadap suatu tindakan serta hati itu pula yang merupakan pusat keyakinan seseorang, sebagai landasan berbuat dan bertindak.Dalam hati tersimpan berbagai sistem nilai yang melandasi perbuatan termasuk penguasaan dan penjiwaan seseorang terhadap suatu kompetensi tertentu.
Dalam konteks pembelajaran potensi kodrati ini, merupakan fungsi Psikomotorik (gerak kejiwaan), yang secara bertahap meliputi kemampuan :Perception (meniru), Guided Respons (mencontoh), Adaptation (Meneladani), Mechanisme (membiasakan) maupun kemampuan Origination (perwujudan diri)[11]
Dalam kegiatan pembelajaran, untuk mencapai hasil yang optimal khususnya dalam menguasai suatu kompetensi tertentu, hanyalah mungkin apabila ketiga potensial kodrati (akal, hati dan naluri) tersentuh secara utuh dan terpadu.

F.   Teori-teori Pokok Belajar
1.    Behaviorisme
Behaviorisme sudah menjadi trend dalam dunia pendidikan.Tetapi kebanyakan para guru menganggapnya sebagai sebuah pengetahuan saja, tanpa mempersoalkan implikasi teori pembelajaran yang dianutnya dengan sengaja maupun tidak disengaja.Kemungkinan besar pendekatan pembelajaran yang dipakai sebatas selayang pandang. Kenyataannya teori ini telah mendarah daging dalam dunia proses belajar mengajar di Indonesia[12]
Behaviorisme sebagai pendekatan pembelajaran mempunyai beberapa akar ideologis.Yang pertama adalah filosofi realisme.Dari sudut pandang ini behaviorisme menitik beratkan pada hukum alam, karena menurut persefektif behaviorisme manusia merupakan bagian dari alam dan manusia hidup sesuai dengan hukum alam.Tugas dari penganut behaviorisme adalah untuk meneliti makhluk hidup termasuk manusia dalam usahanya untuk menemukan hukum perilaku (behaviour). Setelah hukum tersebut ditemukan, maka hukum itu akan menjadi teknologi perilaku manusia.
Akar ideologis yang kedua adalah positivisme, yang salah satu tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857).Comte membagi sejarah pemikiran manusia menjadi tiga tingkatan.Masa paling primitive adalah masa teologi.Dimana masa segala sesuatu dikaitkan dengan roh dan Tuhan.Periode kedua adalah metafisika, dimana setiap kejadian selalu dikaitkan dengan rasa, sebab dan prinsip-prinsip diri manusia.Periode ketiga yang tertinggi adalah positif, dimana pada periode ini manusia hanya melihat fakta-fakta yang bisa diamati dan diukur[13].
Menurut teori belajar behavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristk adalah suatu control instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan. Beberapa ilmuan yang termasuk pendiri sekaligus penganut behavioristic antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner[14].
Behaviorisme menitik beratkan pada pendidikan sebagai upaya untuk membentuk perilaku.Oleh karena itu stimulus yang bisa membentuk perilaku baik dalam diri manusia sangat diperlukan.Lingkungan pendidikan juga sangat penting dalam pendidikan.Oleh karena itu dibutuhkan lingkungan yang mendukung, begitu juga diperlukan adanya reinforcement.Pendidik hendaknya memberikan reinforcementyang tepat pada anak didik. Positif reinforcement hendaknya sering diberikan kepada siswa[15]
2.      Connectionism (Koneksionisme)
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya.Akhirnya, entah bagaimana secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan namainstrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”.Selain itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”.Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box.Makanan ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F Skinner[16]
3.      Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR).CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respon yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar  air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan.Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS).Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS).Apakah yang terjadi?Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen tersebut, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E.L. Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perbuahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
4.      Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Proses)
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini.Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontroversial.Karya tulisnya yang dianggap baru/ terakhir berjudul About Behaviorismditerbitkan pada tahun 1974.Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan  oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak  sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Teori Skinner mirip sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike.Dalam hal ini, fenoma tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.Dengan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.
5.      Contiguous Conditioning (Pembiasaan Asosiasi Dekat)
Teori belajar pembiasaan asosiasi dekat (contiguous conditioning) adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respons yang relevan.Contiguous conditioning sering disebut sebagai teori belajar istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena di dalamnya hanya terdapat satu prinsip, yaitu kontiguitas (contiguity) yang berarti kedekatan asosiasi antar stimulus-respons.
Menurut teori ini, apa yang sesungguhnya dipelajari orang, misalnya seorang siswa, adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya, setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk selamanya atau sama sekali tak terjadi (Reber, 1989: 153). Dalam pandangan penemu teori tersebut yakni Edwin R. Guthrie (1886-1959), peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seorang siswa bukanlah hasil dari pelbagai respons kompleks terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para behavioris lainnya, melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respons yang diperlukan.
6.      Cognitive Theory (Teori Kognitif)
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi kognitif, ilmu-ilmu komputer, linguistik, intelegensi buatan, matematika, epistimologi dan neuropsychology (psikologi syaraf).
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behavioristik itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
7.      Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Teori belajar sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori observational learning (Pressly & McCormick, 1995: 216) adalah sebuah teori belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas  Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Conditioning, menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan reward (ganjaran/memberi hadiah/mengganjar) dan punishment (hukuman/memberi hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu ia perbuat.
Imitation, prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral dengan prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogianya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model. Selain itu, tingkat kualitas imitasi juga bergantung pada persepsi siswa terhadap “siapa” yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut


PENUTUP

Pembelajaran sejatinya merupakan seperangkat aktifitas yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik melalui proses belajar mengajar. Di dalamnya guru berperan sangat signifikan dalam membina, membimbing, mendidik, mengasuh dan merubah prilaku peserta didik menjadi manusia yang cakap, mandiri, dan cerdas.
Pembelajaran sebagai proses pengorganisasian kegiatan belajar. Dengan kata lain pembelajaran merupakan upaya penciptaan kondisi yang kondusif, yaitu membangkitkan kegiatan belajar efektif dikalangan para siswa. Guru hendaknya menggunakan metode dan teori yang baik sehingga diharapkan proses pembelajaran akan berlangsung baik dan menyenangkan.
Asumsi teori adalah terjadinya perubahan terus menerus dalam masyarakat, mengharuskan setiap lulusan sekolah memiliki kemampuan dalam bertindak, belajar dan mengatur masa depan sendiri secara mandiri dengan memadukan unsur-unsur terbaik dari sistem-sistem yang terbukti berhasil.
Dinamika lahir dan tumbuhnya berbagai pandangan, paham dan teori tentang proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan penyempurnaan essensi proses pembelajaran, seiring dengan tuntutan perkembangan masyarakat tempat berlangsungnya proses pembelajaran itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Asmani, Jamal Ma’mur, 7 Tips Aplikasi Pakem; Menciptakan Metode Pembelajaran Efektif dan Berkualitas, (Yogyakarta : PT. Diva Press, 2011).

Fauzi Anis, Lugowi Ahmad, Pembelajaran Mikro; Suatu Konsep dan Aplikasi, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2009).

Sukmara Dian, Implementasi Life Skill dalam KTSP; Melalui Mode Manajemen Potensial Qodrati, (Bandung : PT. Mughni Sejahtera, 2007).

Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002).

Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2009).

Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajarn; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006).

Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2010).


[1] Jamal Ma’mur Asmani, 7 Tips Aplikasi Pakem; Menciptakan Metode Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Yogyakarta : PT. DIVA Press, 2011) hal. 17
[2] Ibid, hal, 18
[3] Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen Potensial Qodrati, (Bandung : PT. Mughni Sejahtera, 2007), hal. 63
[4] Anis Fauzi, Rifyal Ahmad Lugowi, Pembelajaran Mikro; Suatu Konsep dan Aplikasi, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2009), hal. 8
[5] Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen Potensial Qodrati, Op-Cit, hal, 65
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung : PT. Remaja RosdaKarya, 2004), hal, 137
[7] Ibid, hal 66-67
[8] B, Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah; Wawasan Baru, Beberapa Metode Pendukung, dan Beberapa Komponen Layanan Khusus, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2009), hal.
[9] Suparman A, dan Purwanto, Analisis Pembelajaran, (Jakarta : PT. Depdikbud, 1997), hal
[10]Potensi Qodrati di sini dimaksudkan untuk mengembangkan peserta didik melalui pengembangan akal, naluri dan hati secara terpadu dan proporsional.
[11] Dian Sukmara, Implementasi Life Skiil dalam KTSP; Melalui Model Manajemen Potensial Qodrati, hal, 73-74
[12] Abdul Azis, Teori-teori Belajar, (Jember : PT. Madania Center Press, 2008), hal, 1
[13]Ibid, hal. 2
[14] Eveline Siregar, dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor : PT. Ghalia Indonesia, 2010), hal. 25
[15]Abdul Azis, Teori-teori Belajar, hal. 4
[16] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 92-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar